Monday, November 27, 2023

3D2N Nikko: Pengalaman Musim Gugur Pertama yang Tak Terlupakan 🍂

Bismillah.Sudah lama masuk list saya akhirnya bisa terealisasi ke Tochigi Prefecture. Awalnya saya berencana untuk one day trip tapi setelah baca di group ini dan banyak research di internet kok seru juga kayaknya menginap di Nikko apalagi saya punya keluangan waktu (base dari Tokyo kebetulan sedang studi disini). Saya pun tidak berharap banyak mengingat di Nikko sudah melewati peak fall foliage. Alhamdulillah masih kebagian lihat daun warna warni di Nikko 😍. Tidak kalah penting, kendaraan umum (kereta dan bus) sangat diandalkan, jadi harus selalu cek jadwal kedatangannya, ya. Saya juga mengandalkan google maps untuk waktu tempuh dari satu tempat ke tempat yang lain. Kurang lebih seperti ini itinerary saya mungkin ada teman-teman yang tertarik menginap di Nikko.

Hari 1: Tiba di Nikko, mengunjungi Rinnoji, Toshogu, Tayuin, (hanya di begian luar saja karena antrian tiket sudah mengular panjang dan perlu tiket masuk berbayar lagi), lalu ke Tamozawa Goyotei Imperial Villa, Kanmanga Fuchi Abyss, pulang ke guesthouse.

Fall Foliage di sekitar Tobu Nikko Station


Rinnoji Temple


Akses menuju Kanmanga Fuchi Abyss




Tamozawa Goyotei Imperial Villa



Kanmanga Fuchi Abyss jam 4 sore



Hari 2: Naik bus ke Danau Chuzenji. Namun sayangnya angin sangat kencang jadi staf boat cruise memutuskan tidak ada boat cruise mengelilingi danau pada hari itu. Mulai kedinginan saya melanjutkan perjalanan ke Kegon Falls, Cobain suiton, lalu saya ke Ryuzu Falls - toko suvenir kecil di sana menjual soba enak, kita dapat duduk dengan santai tepat di depan air terjun. Naik bus dari sana ke Yuno Lake. Ini yang paling berkesan selama perjalanan saya karena suhunya sudah sampai -4 derajat Celisu, dingin sekali sampai saya perlu mengeluarkan jaket ekstra. Tidak lama-lama, ambil foto dan langsung naik bus turun menuju Tobu Nikko Station.

 Suiton, sup hangat khas Nikko terbuat dari jamur, lobak, kentang, dekat Kegon Falls

Ryuzu Falls

Waktu ketemu Ave n Family di Kegon Falls

Lake Chuzenji. Anginnya kencang sekalii


Hari 3: Hiking di Ryuokyo Valley (Dragon King Valley). Dari guest house saya naik kereta ke Kinugawa onsen St, lalu menuju Bus Stop 2 menuju Ryuokyo Iriguchi dari situ sudah cukup dekat menuku pintu masuk Ryuokyo Valley. Hiking mulai pukul 10 pagi dan berakhir selama 4 jam (Nijimi Waterfall —> Musasabi Bridge —> Shiroiwa). Setelah itu saya cari makan siang, sholat dan istirahat. Dilanjutkan perjalanan menuju Tobu Nikko station pada pukul 17.00 sore, naik kereta pukul 17.38 dan sampai di Tokyo pukul 20.15, cukup sekali untuk makan malam. Sekian. Arigatou gozaimasu.

Pintu masuk Ryuokyo Valley


Musasabi Bridge





Jalan berbatu menuju Shiroiwa




Shiroiwa

Bonus Trekking (foliage di sebelah Ryuokyo Station)


Add-ons:

All Nikko Area Pass: JPY 4.780 (Klook)

K’s House Nikko: JPY 6.496 (Agoda) 2 Nights 







Sunday, March 4, 2018

Ladakhi road trip (2) : Leh, We're coming!


Meninggalkan Alchi setelah sarapan roti selai apricot (salah satu sarapan terbaik yang pernah saya coba!) di rumah Sonam, kami pun bergegas naik mobil untuk melanjutkan perjalanan. Posisi tempat duduk sedikit berubah. Yang tadinya duduk di depan, saya jadi pindah ke belakang dengan Akbar. Penumpang tambahan ialah anak laki-laki dari teman Shabir yang ingin mengunjungi Leh juga. Shabir masih pegang kemudi. Di jalan kami tidak banyak mengobrol, lebih banyak melihat pemandangan di luar mobil. Rentetan pegunungan Himalaya tidak pernah membuat kami bosan justru sebaliknya semakin menambah rasa penasaran kami untuk segera tiba di Leh. Tidak terasa kami sudah bersama Shabir selama 3 hari 2 malam. Mulai dari Srinagar sampai hari ini jadi kalian tau lah mengapa kami kehabisan obrolan. Terlepas dari itu Shabir tetap teman yang baik dan kami selalu punya jokes untuk menertawakan hal-hal kecil yang cenderung tidak perlu.



Roti selai apricot. Maknyuss


Leaving Alchi



Biar saya ceritakan sedikit tentang teman saya Shabir. Ia tinggal di Srinagar dan bekerja sebagai guide. Asli Srinagar. Selain itu, ia memiliki rumah makan bernama rock view restaurant yang letaknya  tidak jauh dari Dal Lake. Dari Shabir pula kami mendapatkan referensi house boat (literally rumah kapal) tempat kami menginap. Cheerful Charley namanya. Kebetulan pemiliknya ayah mertua Shabir sendiri, Aslam Dongla. Tapi kami sepakat memanggilnya Papa. Mengikuti Shabir yang memanggilnya Papa. Jadi memang semacam bisnis keluarga. Mungkin suatu saat nanti saya ingin mengikuti jejak Shabir dan keluarganya. Punya travel agent jadi sewaktu mau jalan-jalan ke suatu negara tidak usah repot cari-cari informasi lagi. Perkenalan dengan Shabir dimulai ketika salah satu teman couchsurfing merekomendasikan namanya ketika saya bertanya soal Kashmir. Tidak berselang lama saya langsung menghubungi Shabir. Lewat whatsapp dulu. Saya banyak bertanya soal perjalanan darat ini kepada Shabir dan kapan waktu terbaiknya. Seperti yang diketahui pada musim dingin (bulan desember-april) salju turun dengan lebatnya otomatis akses jalan dari Srinagar menuju Leh ditutup. Informasi tentang status terkini jalan dari dan menuju Leh bisa dilihat disini ya. Rencana awal mengunjungi Gulmarg dan naik gondola (dipercaya sebagai yang tertinggi di dunia) pun harus batal karena pada saat kami kesana sedang ada beberapa perbaikan. Another setbacks when travelling I guess.



Di depan restoran milik Shabir



Akbar dan Papa Aslam



Kembali ke jalanan Srinagar-Leh, tidak terasa kami sudah mau sampai di kota Leh. Jarak Alchi ke Leh sudah tidak jauh sebenarnya. Kurang lebih 70 km. Sebelumnya kami berhenti di Magnetic Hill untuk ambil foto dan minum teh. Tempat yang dipercaya mempunyai daya magnet dan bisa membuat kendaraan bermotor bisa tetap berjalan tanpa harus menginjak gas. Saya awalnya agak skeptis tapi begitu Shabir memperlihatkan kepada saya (dia tidak menginjak pedal gas dan mobil tetap berjalan) baru saya percaya. Tidak jauh dari Magnetic Hill kami berhenti karena Akbar melihat pemandangan bagus. Di sepanjang jalan Srinagar-Leh ada sangat banyak viewing point dimana pengendara bisa berhenti dan mengambil foto. Ada beberapa orang yang sudah sampai disana dan dari kejauhan terlihat sedang asyik ngobrol. Semakin kami mendekat suaranya semakin keras dan ternyata mereka dari Indonesia. Kaget campur senang, saya dan Akbar bergegas turun dari mobil untuk menyapa. Tidak pernah disangka sebelumnya rombongan tersebut terdiri dari Jebraw, Naya dan teman-temannya. Jalan-Jalan Man goes to Kashmir. Pertamanya, kami pernah bertemu dengan mereka di Bandara Internasional Indira Gandhi untuk antre visa. Kami pun tertawa kencang karena kesempatan bertemu di tengah jalan menuju Leh tanpa janjian terlebih dahulu sangat langka terjadi. Kami pun foto bersama dan bercerita soal itinerary masing-masing.  Mereka sudah lebih dulu sampai di Leh, hendak pergi ke Lamayuru. Datang dari arah sebaliknya, kami akan pergi menuju arah Jebraw Cs datang. Setelah berpamitan dan bertukar nomor handphone kami pun pergi ke arah berlawanan. Mereka bilang akan kembali Leh setelah menginap semalam di Lamayuru dan mengajak kami makan malam. Pasti sudah tau kan jawaban saya dan Akbar? Kapan lagi artis ngajak makan bareng. (berharap ditraktir juga). Namun, saya masih menyangsikan makan malam bersama tadi mengingat kami tidak punya akses internet untuk menghubungi dan/atau dihubungi mereka. Satu-satunya harapan datang dari wi-fi gratis hotel. Let’s see what we can do.


Pemandangan menuju Magnetic Hill


Magnetic Hill


Kami dan rombongan Jebraw

  
Viewing point tempat kami bertemu rombongan Jebraw


Royal Enfield. Banyak dipilih turis di Leh
karena biaya yang lebih murah daripada taksi atau sewa mobil


Sebelum Leh


Pukul 2 tepat kami sampai di kota Leh. Tidak jauh berbeda dengan Srinagar kecuali tidak ada tentara-tentara yang berjaga yang saya lihat selama di Leh. Kalaupun ada jumlahnya tidak sebanyak di Srinagar. Kami langsung diantar ke hotel milik teman Shabir di Leh. Dorjay namanya. Ia adalah pemilik hotel Silver Line. Selagi Akbar mengurus check in untuk kami berdua, saya mengambil tas kami yang ada di mobil Shabir. Mengantar sampai pintu depan kamar kami, Shabir kemudian  pamit pulang. Sedih harus berpisah dari Shabir yang sudah sangat baik selama ini, saya mengambil stiker dari dalam tas. Stiker Gunung Kerinci yang saya dapat setelah mendakinya sampai puncak tahun 2014 lalu saya berikan kepada Shabir untuk ia simpan agar tetap ingat kepada saya dan Akbar (to be honest saya tidak pernah se-mellow ini). Kami pun memeluk Shabir dan mengucapkan banyak terima kasih.


Monumen yang menyambut kami di Leh


Sore itu, kami keluar hotel untuk pergi ke tourism center untuk mencari informasi bagaimana cara pergi ke Pangong Lake dan Tso Moriri. Tujuan utama kami. Kendaraan berupa taxi dan shared jeep bisa mengantar kami ke dua tempat tersebut. Namun harganya cukup mahal dan kami hanya berdua otomatis biaya kami bagi dua secara rata. Ha itu membuat kami berpikir lagi. Menjadi sangat sulit untuk berpikir disaat perut kosong. Jadi kami memutuskan mencari tempat makan yang menyediakan wi-fi tentunya. Makanan nomor dua. Setelah debat cukup panjang, ditambah browsing singkat, saya dan Akbar memilih ikut tour. Kami harus pintar mencari tour dengan tanggal yang sesuai dengan jadwal kami mengingat kami telah memesan hotel secara online sebelumnya. Sampai maghrib kami masih berada di tengah bazaar untuk mencari tour yang sesuai jadwal kami. Mulai panik, kami pun bergegas menuju tour yang satu dan lainnya. Sampai dimana kami melihat papan putih  pengumuman yag isinya mencari dua orang untuk perjalanan ke Turtuk dan Diskit/Hunder. Teriak kepada Akbar “Nah ini buat kita”. Akbar tidak merespon dan lebih memilih langsung masuk ke kantor tempat papan pengumuman tadi berada. Akbar berkata kepada salah satu staf disana “Jullay, is that still available?”. Menunjuk perjalanan ke Turtuk dan Diskit/Hunder. Senang bukan main ketika tahu ternyata perjalanan tersebut masih tersedia dan berangkat besok pagi dari Leh. Kesang, staf yang menerima kami, menambahkan ia akan mengurus permit kami sebelumnya. Untuk pergi ke Leh tidak diperlukan permit. Permit dibutuhkan ketika turis ingin mengunjungi area-area di sekitar Leh seperti Khardung La, Pangong, Tso Moriri, termasuk Turtuk. Untuk yang terakhir saya belum ada bayangan seperti apa, tapi Kesang meyakinkan kami bahwa Turtuk sangat indah dan harus dikunjungi selama kami ada di Leh. Permit cukup mudah didapat karena banyak hotel dan tour yang bisa membantu kalian membuatkannya. Mereka hanya perlu paspor asli yang akan dibawa ke Office of The District Magistrate yang berada di dekat terminal Leh. Perlu diingat kantor tutup jam 2 jadi pelayanan tutup di atas jam tersebut.


Makan siang (atau sore?) di Dreamland Restaurant, Leh. Maknyuss


Setelah mengisi semacam form pendaftaran, kami meninggalkan Ancient Track, kantor tempat Kesang bekerja. Kesang berjanji akan segera menghubungi kami begitu permit selesai dibuat. Kami pun berpamitan dan keluar dengan hati yang tenang. Lega rasanya. Langkah terasa ringan kembali menuju hotel. Dan tidak sabar apa yang perjalanan darat menuju Turtuk dan Diskit/Hunder akan tawarkan kepada kami. TBC


Rooftop hotel Silver Line



Saturday, March 3, 2018

Jalan - Jalan di Ambon part 2 : Antara Liang dan Pintu Kota

Kembali ke pulau Ambon dengan bekal roti yang dibungkus dari Ora Beach Resort, kami pun menuju pelabuhan Amahai kembali. Sebelum naik kapal kami mampir di rumah makan padang untuk beli makan siang untk dibawa ke kapal, roti ludes dimakan di jalan. Tidak yakin ada penjual makanan dan kalaupun ada pasti harganya lebih mahal. Tidak mau ambil risiko.

Sampai di pelabuhan Tulehu kami dijemput driver dari OBS yang ada di ambon. Sudah sore jam 3 waktu setempat jadi kami putuskan untuk langsung ke hotel yang telah kami pesan sebelumnya. Kami menginap di Hotel Amaris dua malam ke depan. Ada yang unik begitu kami masuk ke dalam kamar. Di atas meja sudah disiapkan aneka buah melon dan semangka. Setelah saya tanyakan ternyata itu adalah hidangan yang khusus disediakan untuk kami dengan status pengantin baru. Pada saat pemesanan saya memang memasukkan special request dan dengan setengah percaya hotel  bintang 2 itu memberikannnya berupa buah. Nilai plus sendiri buat saya.

Selesai mandi dan sholat, kami pun keluar hotel untuk mencari makan malam. Banyak teman yang menganjurkan saya untuk mencoba nasi kuning. Dan kebanyakan bilang rumah makan nasi kuning Bu Nanik salah satu yang terbaik di Ambon. Lokasinya berdekatan dengan Masjid Al- Fatah. Persis di sebelahnya. Jadi di kota Ambon sangat banyak penjual nasi kuning. Ibarat warung tenda pecel ayam di pulau Jawa. Jadi tidak susah untuk mencarinya. Saat itu saya pesan cakalang dan Dita pesan udang, makanan favoritnya. Buat saya yang pecinta kuliner rasa ikannya khas begitu meresap ditambah taburan srundeng yang bikin rasanya jadi tambah lezat. Untuk harga tidak begitu mahal, cukup mengeluarkan 50 ribu untuk dua porsi ditambah minuman yang kami pesan. Jarak ke hotel tidak begitu jauh sebenarnya tapi karena kami masih lelah pulang dari Ora kami pun naik becak pulang ke hotel. 12 ribu saja.

Setelah cukup istirahat, besok paginya kami bertemu dengan Pak Ucu, pemilik mobil yang akan kami sewa selama di Ambon. Dia sudah menunggu di basement hotel. Orangnya baik dan memberi kami saran bagaimana cara terbaik untuk explore Ambon selama sehari. Katanya Ambon itu kecil jadi sehari saja cukup untuk keliling Ambon. Setelah memberikan kunci mobil, Pak Ucu pamit pergi karena masih ada urusan. Kami pun bergegas meninggalkan hotel untuk pergi mengunjungi Pantai Liang, tujuan pertama kami. Cukup bersih dan sepi (karena waktu kami kesana hari kerja hanya ada satu atau dua mobil yang parkir). Sambil menunggu waktu makan siang saya mengambil foto secukupnya, Dita main ke dermaga kecil di tengah - tengah pantai. Dipanggil, saya pun menyusul ke dermaga. Ternyata pemandangan lebih indah disini. Perpaduan biru air dan bukit di seberang pantai menjadi pasangan sempurna untuk diabadikan dalam sebuah foto. Setelah itu kami kembali ke pinggir pantai untuk makan pop mie yang telah kami beli sebelumnya. Tinggal beli air panas di warung yang ada disana.


Dita dan Pantai Liang


Dermaga


Bapak penyewa kapal yang mau mengantar pengunjung

Selesai makan kami melanjtukan ke perjalanan ke Waai. Konon disini tinggal belut raksasa (Morella Eels) yang dipercaya warga setempat jelmaan dari raja dan ratu. Belutnya tinggal di kolam agak besar yang dijadikan tempat bermain anak-anak sekaligus tempat untuk mencuci pakaian warga. Sempat ragu, kami pun akhirnya memutuskan untuk bertanya seorang remaja disana. Rupanya dia adalah pawang belut dan bisa membawa keluar belut dari tempat persembunyiannya. Beli umpan berupa telur dan bayar retribusi masuk (walaupun belum resmi hanya dikelola ibu paruh baya), we're off to eels hunting. (eh tapi bukan untuk dimakan ya)



Eels hunting


Morella Eels

Dari Waai kami pulang ke arah kota. Melewati Pantai Natsepa kami berhenti sebentar untuk melihat pemandangan dan makan rujak Natsepa yang sudah sangat terkenal. salah satu yang wajib dicoba ketika di Ambon selain nasi kuning. Hampir sama dengan rujak buah pada umumnya kecuali bumbunya yang sarat kacang dan porsi melebihi buanya sendiri. Sangat segar pecinta buah dan rujak harus coba.



Rujak Natsepa 

Setelah ngerujak kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami ingin mengunjungi pantai (lagi). Pantai Pintu Kota yang terletak di sebelah utara kota Ambon nisa ditempuh selama 45 menit dari pusat kota. Hanya sebentar saja kami disana karena tidak terasa malam hampir tiba dan kami harus sampai di kota sebelum larut malam. Besok siang kami sudah pulang ke Jakarta. Berfoto dan minum es kelapa muda sambil menikmati matahari terbenam adalah aktivitas yang biasa dilakukan pengunjung. Kami pun memesan es kelapa. Ah segarnyaa!


Pantai Pintu Kota


Saya 


Tidak terasa senja pun tiba, kami kembali ke kota dan mampir ke toko oleh-oleh untuk membeli bagea dan minyak kayu putih khas ambon sebelum samapi di hotel. See you again, Ambon!


Travel Notes:
1. No Hp Pak Ucu: 081343004495
2.Pantai Liang
        Biaya masuk per mobil 2 orang 13.000
        Air panas 2 @5.000
3. Morella Weels Waai
        Pawang 30.000
        Parkir 10.000
         Telur 2 @ 5.000
4.Rujak Natsepa per porsi 15.000
5. Pantai Pintu Kota 
        Biaya masuk per orang 2.000
        Mobil 10.000 
        Es kelapa 15.000
  ( per tanggal 1 Februari 2018)

















Wednesday, February 14, 2018

Jalan - Jalan Di Ambon Part 1 : Ora

Apa yang ada di pikiran Anda ketika mendengar kata Ambon? Pantai eksotis nya kah...atau orang asli Ambon yang terkenal vokal dengan gaya bicaranya yang khas....atau bisa jadi jenis pisang yang lezat...tidak jadi masalah karena setiap orang punya pengalaman masing - masing dengan kata tersebut.

Bagi saya, kota di sebelah paling timur Indonesia sebelum Papua itu menjadi destinasi impian saya di dalam negeri. Sudah lama berencana ingin ke "timur" lagi setelah pertama kalinya saya menginjakan kaki di timur Indonesia yaitu waktu ke Kupang dan Labuan Bajo. Ambon, ibu kota provinsi Maluku, memiliki letak geografis yang cukup unik karena dikelilingi Teluk Ambon jadi banyak ditemui pantai bagus disana. Oke jadi bertambah rasa penasaran saya.

Kali ini saya ditemani istri, Dita namanya. Sesama pecinta travelling, kami memutuskan Ambon untuk jalan - jalan pertama kali sebagai sepasang suami istri. You could say it a honeymoon trip 😉. Selayaknya budget traveller yang lain kami mulai hunting tiket murah dari jauh hari. Dari bandara internasional Soekarno Hatta cukup banyak rute penerbangan langsung ke Ambon. Akhirnya pilihan jatuh ke maskapai Garuda. Tiket seharga 1,3 juta OW berhasil dipesan. Berangkat pukul 11 malam sengaja kami pilih agar sampai di Ambon pagi. Selain bisa menghemat hotel, karena juga kami pilih lanjut ke Ora begitu landing di Ambon. Jadi tidak kesorean samapi di Ora. Butuh perjalanan darat dan kapal cepat untuk samapai di Ora yang terletak di Pulau Seram tersebut. Paket menginap di Ora Resort selama 3D2N pun telah kami pesan sebelumnya. Jadi begitu landing di Ambon akan ada driver yang menjemput untuk kemudian mengantar kami ke Pelabuhan Tulehu yang ada di Ambon.

Jadi kurang lebih begini rutenya:
1. Bandara Pattimura (Ambon)
2. Pelabuhan Tulehu 
3. Pelabuhan Amahai (Pulau Seram) 
4. Masohi 
5. Desa Saleman (desa terakhir sebelum Ora)
6. Ora

Dari 1 ke 2 perjalanan darat sekitar 1,5 jam
Dari 2 ke 3 ferry 1,5-2 jam 
Dari 3 ke 5 mobil 2,5 jam
Dari 5 ke 6 kapal kecil 15 menit 
Semua transportasi ke dan dari Ora (termasuk tiket VIP ferry) sudah disiapkan oleh Ora Beach Resort. 

Tiba di Ora pukul 14.00 waktu setempat kami langung disambut salah satu pengelola OBR. Check in sebentar sambil minum sirup yg disajikan. Setelah itu kami beranjak menuju kamar laut sesuai pesanan. Jadi ada beberapa penginapan ya di Ora. Pilihannya ada dua, kamar darat dan kamar laut. Sebaiknya pilih kamar laut aja karena pemandangan langsung ke laut dan bisa berenang di depan kamar. Tarif lebih mahal kamar laut pastinya. Tapi tidak ada salahnya bukan mencoba pengalaman baru apalagi sudah jauh - jauh sampai di Ora. 



Bagian belakang kamar laut

Hari pertama tidak banyak yang dilakukan. Hanya jalan di tepi pantai dan selebihnya istirahat karena perjalanan panjang yang kami tempuh. 

Bintang laut dengan pemandangan Kamar Laut Ora
Esok harinya, kami akan diajak island hopping oleh Pak Bobi. Ia adalah seorang warga desa seleman dan dengan kapal kecilnya akan mengantar turis yang datang menuju Ora. Pertama, kami akan melihat Tebing Batu. Disini berhenti untuk ambil foto. Hanya tebing besar yang menjulang tinggi dengan pondok di atas laut di depannya menjadikan tempat ini salah satu spot foto favorit di Ora. Dengan baiknya Pak Bobi menawarkan untuk mengambil foto kami. Setelah puas kami pindah ke tempat kedua yang ada di paket yaitu Air Belanda. Menurut Pak Bobi, disini adalah tempat pertemuan antara sungai dengan laut. Jadi bisa dilihat sumber mata air muncul dari dalam pasir yang menyembur keluar. 


Tebing Batu
Panas terik terasa sampai di kulit. Kami pun istirahat sebentar di gubuk milik warga. Melihat ayunan, Dita dengan semangat lari menghampirinya. Layaknya anak kecil melihat mainannya. Kami pun bermain sebentar sambil melihat pengunjung lain yang sedang menikmati pemandangan di sekitar Air Belanda. Dari kameranya bisa dibilang dia adalah seorang pecinta fauna. Lensa panjang lengkap dengan topi rimbanya. Saat bermain ayunan ia sedang mendekati kupu-kupu yang terbang.  



Pantai di Air Belanda
Waktu menunjukkan pukul 2, kami pun menyudahi trip hari ini dan kembali ke OBR. Tebing Batu dan Air Belanda termasuk dalam paket OBR jadi tidak perlu bayar lagi. Kecuali mau paket tambahan seperti Salawai dan Pulau Kelelawar, pengunjung akan dikenakan biaya tambahan. Cukup bilang saja ke pengelola OBR dan mereka akan mengatur paket tambahan tadi.

Hari ketiga di Ora kami packing barang-barang persiapan pulang ke Ambon. Usahakan sampai di Pelabuhan Masohi paling lambat setengah jam sebelum ferry berangkat. Jadwal setiap hari (kecuali minggu) ada 2, jam 8 dan jam 2 siang. Kami pun check out jam setengah 11 sambil berpamitan dengan pengelola OBR dengan pelayanannya yang setara hotel bintang 4. Good bye Ora! Thank you for the lovely memories!

Diambil oleh Pak Bobi

  



Friday, January 12, 2018

Ladakhi road trip (1) : Srinagar, Kargil dan Alchi

Pagi itu terasa cukup sejuk dan kami mengawali hari dengan sarapan di sebuah warung makan tidak jauh dari Dal Lake. Saya rasa tempat ini milik teman Shabeer karena dia terlihat akrab pada saat memesan menu sarapan yg akan kami pilih. Tidak banyak hanya segelas teh susu hangat dan sepiring bawang goreng yg bagaimana caranya bisa enak mungkin karena kami sedang lapar, beda sama yg di Indonesia (setelah googling baru saya tau namanya pakoda). Tidak lupa Akbar beli buah-buahan untuk bekal di perjalanan. He looked more prepared in this road trip than me.

Awali hari dengan sepiring pakoda

Termasuk dalam salah satu jalur darat terbaik versi Lonely Planet yang diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Epic Drives of The World (2017), kami pun semakin excited untuk memulai perjalanan ini. Selain itu alasan pemandangan yang bisa leluasa dilihat selama perjalanan membuat kami memilih jalur darat dari Srinagar menuju Leh. Rute pesawat sendiri banyak dipilih dari Srinagar atau New Delhi bagi mereka yang punya waktu sempit dan tidak kuat perjalanan darat dalam waktu yang lama. Maklum saja Srinagar - Leh mencakup 434 km dan sangat disarankan untuk berhenti istirahat semalam atau 2 malam. Kebanyakan orang transit semalam di Kargil kemudian melanjutkan perjalanannya. Tapi saya dan Akbar memilih untuk membuat 1 transit tambahan yaitu Alchi.


Papan hijau penunjuk jalan


 Di sepanjang jalan kami menikmati pemandangan pegunungan Himalaya sambil sesekali berhenti untuk mengambil foto. Untungnya Shabeer sangat sabar dalam hal ini. Sekitar jam 4 sore waktu setempat kami sampai di Kargil. Cukup ramai untuk sebuah kota transit, Kargil dulunya merupakan salah satu kota yang dilalui Jalur Sutera di India. Segera kami mencari homestay yang sudah dipesan sebelumnya. Setelah ketemu ternyata lokasinya agak jauh dari pusat kota dan jalan menuju Leh. Akhirnya kami pun mencari hostel lain dan memilih Hotel Siachen. Check in setelahi tu kami pun pembersihan. Selesai solat maghrib, kami keluar mencari makan. Kebetulan lokasi hotel sangat dekat dengan pasar. Cukup jalan kaki. Mencoba beberapa makanan khas disini seperti, momos (sejenis dimsum), thukpas (mie rebus ditambah kacang polong), dan apricot. Oh iya ada satu lagi yang khas disini. Setiap pemilik lapak menyediakan botol air minum besar dan pembeli bisa meminum langsung dari botol tersebut. Pengalaman baru yg menarik sampai sampai saya dan Akbar sengaja membeli makanan yang padahal kami tidak suka hanya karena minum dari botol haha. Puas mencoba kuliner Kargil kami pulang ke hotel dan istirahat. Besok pagi harus melanjutkan perjalanan menuju Alchi.


Pemandangan di jalan menuju Kargil


Murid sekolah ganteng yang bukan anggota GGS


Pukul 7 pagi tepat kami bersiap untuk check out. Sebelumnya kami cari sarapan di dekat hotel dan pergi ke Museum Munshi Aziz Bhat. Disini banyak terdapat artefak dari jaman dulu ketika Kargil dilalui Jalur Sutera. Mulai dari pakaian, mata uang, sampai botol minuman berakohol pada saat itu. Even menjadi tempat yang sering didatangi turis yang singgah di Kargil, tidak banyak yang bisa dilihat kecuali barang antik. Kalau kamu menyukai pergi ke museum pasti akan betah lama lama disini. Kembali ke jalan menuju Alchi.

Papan di depan pintu masuk museum

Pakaian tradisional

Pakaian Tradisional #2



Sebelum Alchi, banyak sekali view zone yang indah dan sayang untuk dilewatkan. Jarak tempuh sekitar 170 km yang seharusnya bisa ditempuh 3-4 jam harus mundur menjadi 6 jam. Mulai dari Kargil - Mulbekh - Namki La- Bud Kharboo - Heniskot - Fotula - Lamayuru - Moonland - Khaltse - Nimla - Hemischu - Uleytopo - Alchi. Sampai di Alchi menjelang petang dan kami langsung menuju homestay yang telah kami pesan sebelumnya, Lharjey Homestay. Tempatnya sangat nyaman dan terpencil membuat kami tidak percaya ada penginapan disni. Alchi sendiri tidak berhenti membuat kami terpukau. Mulai dari jalan masuk seperti gurun pasir berbukit menyeberangi jembatan yang dipenuhi prayer flags. Serene and peaceful, kesan pertama yang saya tangkap begitu berada di Alchi.

Foto di sebelah papan. Taken by Akbar


Moonland

 Lharjey yang diurus oleh keluarga Sonam dan dua anaknya, Mentok (12) dan Ridzin (9) seperti oase di padang pasir bagi saya dan Akbar. Kami yang sudah kelelahan ditambah harus aklimatisasi membuat kami merasa agak pusing dan mual. Sonam dengan baik hati menjamu kami seraya berkata, "Do you need hot water for taking a bath?" tanpa basa basi kami jawab "yes, we do". "Okay I'll make each one of you a pail of hot water and make a dinner for you". Ah pertanyaan kami terjawab. Selama di mobil kami memikirkan bagaimana cari makan malam di tempat terpencil seperti Alchi. Jangankan rumah makan, toko atau warung saja hampir tidak terlihat selama perjalanan. Warga disini memnag terkenal dengan organic farming dimana bahan makanan berasal dari kebun mereka sendiri. Tentu saja itu memberi nilai tambah karena kebersihan dan kesehatan makanan sudah pasti terjamin.


Tempat tidur di Lharjey Homestay

Pagi di Alchi (depan Lharjey Homestay)
Malam itu kami tidur cepat setelah menyantap makan malam yang disediakan Sonam. Akbar merasa tidak enak badan dan sedikit demam. Maklum perjalanan panjang membuat tubuh kami lelah dan pastinya pengaruh perubahan ketinggian yang drastis. Bayangkan bagaimana jadinya kalau ambil flight dari New Delhi atau Srinagar langsung ke Leh? Tentunya perlu beberapa hari untuk aklimatisasi agar terhindar dari AMS (Acute Mountain Sickness). Setelah mengajarkan beberapa kata dalam bahasa indonesia kepada Mentok dan Ridzin kami pun berpamitan untuk istirahat.

Hari ke 4 di Ladakh badan terasa sudah mulai cukup menyesuaikan dengan ketinggian. Beda pertama kali sampai di Srinagar. Pusing dan sedikit mual. Begitu pula Akbar yang sudah mulai baikan malam sebelumnya minum obat dan selembar Tolak Angin. Pagi pertama (dan terakhir) di Alchi kami jalan-jalan melihat pemandangan dan Alchi Monastery atau dikenal juga Alchi Gompa. Konon katanya bangunan ini merupakan yang tertua dan paling terkenal di Ladakh. Monasteri terdiri dari 3 bangunan utama, yaitu Dukhang (ruang pertemuan), Sumtsek, dan Kuil Manjushri. Semuanya diperkirakan berasal dari abad ke 13 dan 14. Chorten juga merupakan bangunan penting di kompleks monasteri. Bentuknya seperti buah bengkoang, berwarna putih, tinggi 2-3 meter dan banyak ditemui sepanjang jalan di Ladakh. Begitu sampai di pintu masuk loket belum buka dan kami hanya bertemu seorang paruh baya yang sedang membersihkan salah satu bangunan di sekitar kompleks. Dia bilang monasteri baru buka jam 9. Jam saya menunjukkan pukul 8. Ide saya untuk mencoba jalan belakang membuahkan hasil. Benar saja ternyata pemandangan lebih dengan sungai Indus yang mengalir deras. Pelajaran penting jika kamu terbentur karena suatu hambatan di suatu jalan coba jalan lain maka usaha mu tidak akan sia-sia. The Art of Travel #56.

Pintu Belakang Alchi Monastery

Salah satu Chorten di kompleks Alchi Monastey

Puas mengelilingi kompleks monasteri kami pun pulang ke homestay tempat kami meninap. Ternyata Sonam sudah menyiapkan sarapan dan seember air panas untuk mandi. Kami pun bergegas menyantap sarapan agar bisa packing. Shabeer janji untuk menjemput jam 9 setelah bertemu dengan teman lama di Uleytopo, sebelum Alchi dan setelah Nimla. Baru sebentar saja tinggal di rumah Sonam kami sudah merasa nyaman dan ingin tinggal lebih lama lagi. Bermain dengan Mentok yang kritis dan Ridzin yang agak pendiam membuat kami merasa bagian dari keluarga. Sedih rasanya meninggalkan mereka tapi perjalanan harus kami lanjutkan karena tujuan kami adalah Leh. Selesai mandi ternyata Shabeer sudah menunggu di ruang tamu. "Morning, how was your sleep? sapa Shabeer. Saya menjawab "never better". Perasaan sedih terasa ketika harus berpamitan dengan Sonam .Yang sudah begitu baik menerima kami dan tidak menganggap kami sebagai orang asing. Mereka menerima kami layaknya sodara jauh yang sedang berkunjung di musim liburan. Sampai bertemu lagi Sonam, Mentok, dan Ridzin. TBC